Dalam konteks pendidikan, istilah fasilitator lebih banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa atau yang kita sebut dengan “andragogi”, khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan perubahan makna pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa, belakangan ini di Indonesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi dalam lingkungan pendidikan formal di sekolah, yaitu berkenaan dengan peran guru pada saat melaksanakan interaksi belajar mengajar.
Tentu sebagai fasilitator, guru berperan memberikan pelayanan prima untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Peran guru sebagai fasilitator tentu membawa konsekuensi terhadap perubahan yang kita sebut dengan “Pola hubungan guru-siswa” yang semula lebih bersifat “top-down” ke hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “top-down”, guru seringkali diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung bersifat otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, sementara, siswa lebih diposisikan sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh guru.
Berbeda
dengan pola hubungan “top-down”, hubungan kemitraan antara guru dengan siswa,
guru bertindak sebagai pendamping belajar para siswanya dengan suasana belajar
yang demokratis dan menyenangkan atau yang kita sebut dengan istilah “PAKEM”. Oleh
karena itu agar guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator seyogianya
guru harus memenuhi prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan dalam pendidikan
kemitraan itu sendiri antara lain:
1.
Siswa secara penuh
dapat mengambil bagian dalam setiap aktivitas pembelajaran
2.
Apa yang dipelajari
bermanfaat dan praktis (usable).
3. Siswa mempunyai
kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuan dan keterampilannya
dalam waktu yang cukup.
4. Pembelajaran dapat
mempertimbangkan dan disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya dan
daya pikir siswa.
5. Terbina saling
pengertian, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa.
Di samping itu diharapkan guru juga dapat memperhatikan karakteristik siswa yang binaanya
untuk menentukan keberhasilan belajar siswa dalam bentuk karakter yang positif
seperti :
1.
Setiap siswa memiliki
pengalaman dan potensi belajar yang berbeda-beda.
2.
Setiap siswa memiliki
tendensi untuk menentukan kehidupannnya sendiri.
3. Siswa lebih memberikan
perhatian pada hal-hal menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannnya.
4.
Apabila diminta menilai
kemampuan diri sendiri, biasanya cenderung akan menilai lebih rendah dari
kemampuan sebenarnya.
5.
Siswa lebih menyenangi
hal-hal yang bersifat kongkrit dan praktis.
6.
Siswa lebih suka
menerima saran-saran daripada diceramahi.
7. Siswa lebih menyukai
pemberian penghargaan (reward) dari pada hukuman (punishment)
Penulis mengharapkan agar guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai fasilitator, maka perlu memahami hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber belajar. Nah untuk itu sebagai fasilitator, guru mutlak perlu menyediakan sumber dan media belajar yang cocok dan beragam dalam setiap kegiatan pembelajaran, dan tidak menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para siswanya.
Di dalam Alkitab Amsal Pasal 1 – 9 menjelaskan secara retorika bahwa peranan seorang pendidik adalah fasilitator. Pendidik menciptakan suasana yang kondusif dan melaksanakan strategi pendidikan yang persuasif dengan menggunakan metode-metode pengajaran yang sangat deskriftif serta memberikan umpan balik. Peserta didik diharapkan dapat berpartisipasi aktif dan diberikan kebebasan untuk memilih dan memutuskan. Sama halnya dengan Keteladanan Yesus sebagai Guru Agung dapat dijadikan sebagai “Panutan” bagi pendidik yang berperan sebagai fasilitator. Di mana Dia mendidik melalui pengajaran verbal, ceramah, khotbah, cerita, perumpamaan atau ilustrasi, pertanyaan, penugasan dan perbuatan nyata (bnd. Yoh. 1:1-3, 14, 18) demikianlah seorang pendidik dalam melaksanakan peranannya di dalam pendidikan. ----SALAM PENDIDIKAN----- ( JS )