Hubungi Kami Tlp.081265186770.

STRATEGI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA



 
                                        





A. PENDAHULUAN

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke empat mengatakan: “kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Sejalan dengan amanat dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, pemerintah secara terus menerus dari era pemerintahan ke era pemerintahan berikutnya berupaya melakukan berbagai peningkatan di berbagai sektor, baik pembangunan SDM, maupun peningkatan infrastruktur secara berkelanjutan dalam rangka mensejajarkan bangsa dan negara Republik Indonesia dengan berbagai negara di dunia, namun upaya tersebut tidak memperoleh hasil yang signifikan akibat dari terjadinya penyalahgunaan kewewenangan (korupsi dan kolusi) oleh sebagian aparatur, khususnya yang berada pada lingkaran pengambil kebijakan yang strategis dan para pihak-pihak yang terlibat dalam proses peningkatan yang dimaksud.


Korupsi saat ini bukan saja terdapat pada peningkatan infrastruktur dan bidang-bidang ekonomi, akan tetapi telah masuk pada pengalihan sumber daya alam yang sistematis dan terstruktur, yang berimplikasi terhadap ketahanan nasional (national relicience) yang semakin rapuh.


Perjalanan bangsa pada masa orde reformasi dimulai dengan era pemerintahan Gusdur sampai dengan sekarang (Jokowi). Pemberantasan korupsi secara masif terus dilakukan, namun belum memperoleh hasil yangsignifikan, bahkan dapat dikatakan makin meningkat, sebab para pelaku korupsi yang saat ini bukan hanya domain aparatur pemerintah, baik kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah, akan tetapi juga dilakukan bersama-sama oleh pihak swasta melalui persekongkolan, baik pajak, perizinan, dan pengalihan sumber daya alam, sebagaimana release Kementerian Dalam Negeri tanggal 5 Juli 2013, bahwa 298 dari 524 Kepala Daerah dipenjara oleh karena korupsi.

Gagasan dan solusi, serta upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan telah memperoleh hasil yang sangat luar biasa, akan tetapi belum memberikan efek jera, bahkan akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh berbagai korupsi di sektor pendidikan, kesehatan, pemberangkatan haji, dan sektor migas (www.politikonline.com), serta pada pemerintah daerah.


KPK sebagai lembaga yang merdeka dan berdaulat, yang dibentuk untuk mencegah dan memberantas korupsi secara terus menerus telah berupaya melakukan pencegahan dan pemberantasan di berbagai lini secara sistematis, komprehensif dan holistik dengan Kepolisian dan Kejaksaan, karena KPK menyadari bahwa dirinya bukan satu-satunya lembaga atau lokomotif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Terkait dengan kontroversi dan pelemahan KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, kita memahami dan menyadari hal tersebut, sebab korupsi yang terjadi adalah warisan sistem otoriter, kultur birokrasi patrimonial yang cenderung minta, dilayani bukan melayani, reformasi institusional yang tambal sulam, egosektoral kelembagaan, krisis etika kepemimpinan, dan sifat masyarakat yang permisif. Semua hal tersebut merupakan tantangan bagi KPK untuk terus berupaya menemukan berbagai solusi akan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.


Pada sisi lain, pemerintah juga memperkuat posisi kelembagaan, seperti Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK. UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 30 diberi wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Sedangkan Polri mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyebutkan bahwa pejabat Polisi Negara RI dapat bertindak sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana (pasal 4 dan pasal 6 KUHAP). Adapun untuk KPK, pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Di pasal 6 disebutkan bahwa KPK bertugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Pertanyaan besar bagi kita saat ini adalah mengapa berbagai kasus korupsi masih terjadi pada saat ini dan bagaimana strategi kebijakan yang tepat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsim, serta bagaimana pengaruh kebijakan pemberantasan korupsi terhadap ketahanan nasional, khususnya peningkatan perekonomian dan keberlangsungan pembangunan nasional? Menurut Riant Nugroho D. (2003), kebijakan adalah kompas atau pedoman untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Kebijakan sebagai sebuah pedoman yang terdiri dari dua nilai luhur, yaitu bahwa kebijakan harus cerdas (intelligent) yang secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu cara yang mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan masalahnya, sehingga sebuah kebijakan harus disusun setelah meneliti data dan menyusunnya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah.

Berdasarkan kenyataan di atas, pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan di Indonesia, khususnya oleh KPK, belum mampu memberikan efek jera, bahkan memberikan cara pandang baru bahwa korupsi di Indonesia adalah persoalan struktural yang berakar pada sistem politik dan sistem demokrasi yang lebih mengutamakan prosedural, yaitu pembangunan institusi dan sistem demokrasi, bukanlah pada hal yang substansial.

B.VISI DAN MISI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI


KPK sebagai lembaga yang merdeka dan berdaulat sebagaimana diatur dalam Perpres No 55 tahun 2012 telah mencanangkan menyatakan strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dengan visi jangka panjang 2012-2025. Visi yang diemban adalah “terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi yang didukung nilai budaya yang berintegritas“. Sejalan dengan visi tersebut, maka visi Pimpinan KPK jilid 4 adalah “Terwujudnya Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai trigger mechanism dan bukan satu-satunya lokomotif pemberantasan korupsi”. Untuk mencapai visi tersebut, maka dirancang misi pimpinan ke depan adalah sebagai berikut:
1. Mensinergikan pencegahan dan pemberantasan korupsi antara KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan, serta pengadilan maupun dengan lembaga lainnya seperti BPK dan PPATK.
2. Mengubah cara pandang terhadap esensi korupsi bukan hanya masalah hukum, akan tetapi juga masalah sosio-cultural.3. Harmonisasi peraturan dan perundang-undangan
4. Mengoptimalkan hukuman berat terhadap koruptor
5. Membangun Civil Societyyang merdeka dan berdaulat
6. Melakukan TOBAT NASIONAL
7. Membangun investigasi modern
8. Membangun kembali Good Governance dan Clean Government.

C. KORUPSI SEBAGAI KEJAHATAN LUAR BIASA (EXTRAORDINARY CRIME)


Kejahatan korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat merugikan keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan kerugian kerugian pada perekonomian rakyat. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa, tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat; tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi juga oleh masyarakat bangsa bangsa di dunia (Muladi dan Barda Nawawi, 1992).

Sebagai bangsa yang memiliki semangat untuk menciptakan kemakmuran secara merata dan adil mampu untuk mengenali dan menghindari setiap bentuk korupsi yang hanya akan dapat menciptakan kesengsaraan bagi segenap rakyat Indonesia. Dengan mengenali bentuk-bentuk korupsi juga diharapkan korupsi menjadi musuh bersama yang harus ditekan dan dihilangkan dari setiap permukaan bumi Indonesia.

Menurut Syed Hussein Alatas paling tidak ada tujuh bentuk korupsi yaitu (1) Korupsi transaktif (transactive corrution); (2) Korupsi yang memeras (extortive corruption): (3) Korupsi investif (investive corruption); (4) Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption): (5) Korupsi defensif (defensive corruption) (6) Korupsi otogenik (autogenic corruption); dan (7) Korupsi dukungan (supportive corruption) (Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005).

Bentuk-bentuk korupsi, terutama dalam lingkup suap merupakan penyakit yang sangat akut bagi bangsa Indonesia, karena hampir di setiap lembaga pelayanan publik suap sudah menjadi hal yang biasa, yang pada akhirnya ada kesulitan-kesulitan dalam mendeteksi korupsi, sehingga pencegahannya pun makin sulit dilakukan, sehingga korupsi terus berkembang dan menjalar dalam setiap aspek kehidupan.


Korupsi apapun bentuknya merupakan suatu perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang dalam meraih keuntungan secara tidak halal.


Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sementara pemberantasannya masih sangat lamban. Romli Atmasasmita mengandaikan praktik Korupsi di Indonesia seperti sebuah virus yang cepat menyebar ke seluruh tubuh, walaupun pemerintahan sejak lama menyusun peraturan perundang-undangan untuk menanangani permasalahan korupsi, namun implementasinya masih tersendat-sendat sampai sekarang (Romli Atmasasmita).


Praktik korupsi memiliki kaitan erat dengan praktik kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya. Namun demikian, menurut Nyoman Serikat Putra Jaya, tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tidak hanya dilakukan oleh Penyelenggara Negara, antar Penyelenggara Negara, melainkan juga Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi Negara (Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005). Oleh karena korupsi sangat berkaitan dengan kekuasaan, maka korupsi dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan rakyat.


Penyebab seseorang berbuat Korupsi. Menurut Dr. Sarlito W.Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni : Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya). Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang control dan sebagainya.

1. Faktor internal seseorang melakukan tindak pidana antara lain: Pertama, karena adanya dorongan kebutuhan hidup yang mendesak. Seorang terpaksa korupsi karena gaji jauh dari mencukupi dibandingkan kebutuhannya yang sangat besar dan berkembangnya pola hidup komsumtif. Kedua, Dorongan keserakahan. Seorang yang korupsi identik dengan keserakahan, hal ini didorong oleh kebutuhan yang tidak tercukupi. Korupsi dilakukan agar hidup menjadi lebih baik dan lebih hidup mewah dan dapat membeli barang-barang melebihi pendapatannya.


2. Faktor eksternal juga berpengaruh terhadap seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi, antara lain: pertama, situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi, dimana dewasa ini bahwa korupsi telah merambah ke instansi dimana secara perlahan hal ini dianggap wajar, sehingga mereka yang menganggap salah korupsi akan dikucilkan; kedua, peluang akibat lemahnya pengawasan atau karena pengawasan hanya berlangsung sebagai formalitas.


D. STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI
  

Undang-Undang KPK memetakan upaya memerangi korupsi pada dua tataran yaitu tataran pencegahan dan penindakan dan membangun kerjasama.

1. Aspek Pencegahan


Berdasarkan argumentasi teoritis di atas, kejahatan korupsi terjadi karena ada niat dari pelaku dan lingkungan organisasi yang kondusif. Oleh karena itu, maka pencegahgan korupsi dapat dilakukan pada dua level tersebut.

a. Level Personal/Individu


Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih menyimpan hasrat besar untuk memperkaya diri. Hal ini disebabkan sifat rakus manusia, moral yang kurang kuat, perasaan yang selalu kurang, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau kerja, dan ajaran agama yang kurang diterapkan. Oleh karena itu, guna membangun generasi anti korupsi, maka penulis mengusulkan langkah yang harus ditempuh yaitu:

1) Mensosialisasikan budaya malu yang berakar pada masyarakat melalui ibadah, khotbah, sekolah, dan lembaga sosial masyarakat baik formal maupun informal.

2) Bekerja sama dengan para tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat dalam memberikan sanksi sosial terhadap koruptor, dengan tidak menjadikan koruptor sebagai tokoh atau donatur dan mengharamkan uangnya, serta mengasingkannya dari lingkungan setempat.

3) Menghilangkan sifat permisif terhadap seseorang yang memiliki kekayaan yang tiba-tiba tanpa kerja keras.

4) Melaksanakan “Tobat Nasional” melalui amnesti koruptor dan melaporkan harta kekayaan secara secara jujur.
5) Membentuk kader anti korupsi sejak dini, di sekolah dan di kampus-kampus.

b. Level Organisasi

1) Keteladanan Pimpinan

Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya. Oleh karena itu, solusi untuk mendapatkan pimpinan yang ideal adalah mendorong system rekruitmen pimpinan institusi pemerintah yang tranasparan, bersih, dan berintegritas terhadap perjuangan anti-korupsi.

2) Membentuk Kultur Organisasi yang Berintegritas


Kultur organisasi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku orang-orang yang ada di dalam organisasi. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi. Oleh karena itu, penulis mengusulkan langkah-langkah antara lain:

a) Agar institusi pemerintah membentuk dan komitmen terhadap pembentukan zona bebas korupsi di institusi masing-masing secara prosedural dan substansial.


b) Mendorong pembudayaan pakta integritas di lingkungan institusi pemerintah dari pusat hingga daerah.


3) Mendorong Sistim Akuntabilitas Transaksi Keuangan di Instansi Pemerintah.


Kejahatan korupsi dapat dicegah dengan system akuntabilitas transaksi keuangan di instansi pemerintah. Oleh karena itu, penulis mengusulkan langkah-langkah sebagai berikut:

a) Meminta Menteri Keuangan agar melakukan reformasi sistem akuntabilitas keuangan negara dan memperbaiki sistem penggajian pegawai negeri.

b) Mengharamkan transaksi tunai dan meminta kepada lembaga perbankan agar semua transaksi dilakukan secara e-banking dari semua kegiatan lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah.

c) Membangun manajemen keuangan dengan e-banking, e-office, dan pelelangan barang secara elektronik.

d) Melaksanakan prinsip-prinsip Good Governance, khususnya

prinsip transparansi, partispasi, dan akuntabilitas di semua instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, tanpa kecuali.

4) Mendorong Instansi Pemerintah untuk Memperkuat Sistem Pengendalian Manajemen.

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

2. Aspek Penindakan.

Guna efektifitas pemberantasan korupsi, maka pemberantasan korupsi harus memiliki prioritas-prioritas. Dalam hal ini, penulis mengusulkan antara lain:
a. KPK harus memfokuskan diri pada kasus-kasus besar yang menyangkut national interest, menyangkut kepentingan masyarakat banyak.
b. KPK harus memaksimalkan penanganan kasus yang tidak dapat dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
c. KPK harus berani menindak.
d. KPK harus mengupayakan pemberian hukuman maksimal bagi pelaku korupsi.
e. Mendorong penggunaan investigasi moderen melalui surellance, penyadapan, informan handling, under cover, dan audit forensic.
f. KPK harus mengusahakan penambahan personil penyidik

3.Coostrategy Pemberantasan Korupsi

Sejalan dengan visi dan misi yang diuraikan penulis di atas, korupsi bukan lagi kejahatan biasa, akan tetapi korupsi telah terjadi secara sistematis dan meluas yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan extraordinary. Maka, berbagai gagasan dan solusi pada masa yang datang adalah sebagai berikut:

a. Pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilakukan secara komprehensif, holistik, dan bukan hanya berdasarkan hukum, baik oleh KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan, akan tetapi juga melalui pendekatan sosio-kultural.

b. Membangun KPK sebagai lembaga yang merdeka dan berdaulat, serta tidak melibatkan diri pada politik praktis.
c. Membangun koordinasi dan sinergi dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan (Justice Collaboration).
d. Menghindari benturan antara KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan
e. Meminta dukungan politik dari Presiden dan DPR dan reformasi birokrasi.
f. Pembuktian terbalik atas kekayaan seseorang dan jika tidak dapat dibuktikan secara aktual dan faktual, maka akan disita untuk negara dan yang bersangkutan dihukum seberat-beratnya.
g. Meminta kepada semua penegak hukum agar konsisten melaksanakan undang-undang di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
h. Meminta BPK agar sistem pelaporan audit dilakukan lebih komprehensif, bukan hanya menyangkut prosedural, tetapi menyangkut substansial dan kepatutan.
Sebagaimana gagasan dan solusi yang diuraikan di atas, diharapkan berbagai fenomena korupsi dan penyalagunaan kekuasaan dalam tata kelola pemerintahan pada masa yang datang dapat diminimalisasi. Hal tersebut merupakan upaya untuk menegakkan konstitusi negara, yaitu UUD Negara Republik Indonesia 1945, sekaligus untuk memperkuat perlindungan terhadap kepentingan masyarakat dalam hubungannya dengan Negara.

Daftar Pustaka:
Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Jakarta: KPK Republik Indonesia.
Baharuddin Lopa dalam Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.
Darwan Prinst, SH. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Eric Schmidt, Jared Cohen, 2014, Era Baru Digital, Jakarta :Gramedia
Jhon L. Esposito, dkk, 2002, Dialektika Peradaban, Yogyakarta: Qualam
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2004, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Semarang: Badan Penerbit Undip.
------------------------------------------------------------------Makalah Ini Di Susun  oleh Drs.Mauliate Simorangkir M.Si Untuk Mengikuti Seleksi Penerimaan Calon Pimpinan KPK Periode 2015-2019

Penulis Makalah

Nama : Drs. Mauliate Simorangkir, MSi
NIP : 195408241973061001
Pangkat/Gol : Pembina Utama Madya IV/d
Jabatan Terakhir: Tenaga Ahli Pengkaji Madya Bidang Diplomasi Lemhannas RI
Tempat/Tanggal Lahir: Tarutung/24 Agustus 1954Jabatan Saat Ini : Wakil Bupati Kabupaten Tapanuli Utara Periode 2015-2019

PENDIDIKAN

  1. SD Negeri 1, Simarangkir Tarutung, Tahun 1966
  2. SMP Negeri 3 Tarutung, Tahun 1969
  3. STM Negeri 2 Medan, Tahun 1972
  4. Sarjana Pendidikan IKIP Muhammadiyah Jakarta, Tahun 1986
  5. Pasca Sarjana (S-2), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Tahun 2007.
  6. Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XL Lemhannas RI Tahun 2007.
  7. Calon Doktor (S-3), Studi Kebijakan ,Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

PENGALAMAN JABATAN PEKERJAAN

  1. Guru Sekolah Teknik Negeri X Jakarta, Tahun 1973 sd 1980.
  2. Guru/Instruktur, BLPT Jakarta, Tahun 1980 sd 1986
  3. Pembantu Pimpinan, pada Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Ditjen Dikdasmen, Depdiknas Jakarta, Tahun 1986 sd 1997
  4. Kasi Tenaga Teknis, Bidang Dikmenjur Kanwil Depdiknas Provinsi Sumatera Utara. Juni 1997 sd Maret 2001
  5. Kepala Bagian Tata Usaha, Dinas Pendidikan Nasional, Kab. Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, Maret 2001 sd 2002
  6. Kepala Dinas Pendidikan Nasional, Kab. Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Mei 2002 sd September 2004
  7. Asisten II Umum dan Sosial, Set. Kab. Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. September 2004 sd Februari 2005
  8. Kabag Kerja Sama Luar Negeri, Biro Humas dan Kermalurgri Settama, Lemhannas RI, Jakarta. Februari 2005 sd Juni 2006
  9. Kepala Pusat Pengkajian Khusus, Deputi Bidang Pengkajian Strategik Lemhannas RI, Jakarta. Juni 2006 sd April 2007
  10. Direktur Pengkajian Internasional, Deputi Bidang Pengkajian Strategik Lemhannas RI, Jakarta. April 2007 sd Juni 2012
  11. Tenaga Ahli Pengkaji Madya Bidang Diplomasi Lemhannas RI Juni 2012-2014
  12. Wakil Bupati Kabupaten Tapanuli Utara Periode 2014-2019



    Publikasi:BPPKRINEWS/LSM.BPPK RI
    Editor-Lay Out :Harapan Sagala.AmK






Share on Google Plus

About www.bppkrinews.com